Aku,
Kamu, dan Hujan di Hati
Judul : Hujan Bulan Juni (NOVEL)
Jenis
Buku : Novel / fiksi
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Genre : Romansa, drama
Tahun
Terbit : 2015
Jumlah
Halaman : VI + 138 halaman
ISBN : 978-602-03-1843-1
Harga
Novel : Rp 50.000
Sejauh apa biasanya Anda sampai
terhanyut dari kumpulan kata-kata dalam sebuah puisi?. Kandungan tersirat apa
yang Anda peroleh saat sedang atau setelah membacanya?. “Hujan Bulan Juni”
karya Sapardi Djoko Damono menurut saya selalu berhasil memberi rasa dari
setiap puisi kenangannya. Dan kali ini saya akan membahas novel “Hujan Bulan
Juni”. Sebenarnya judul buku ini adalah suatu puisi yang sudah diciptakan Abah
Sapardi pada tahun 1994. Namun, baru tahun 2015, beliau membuat novel yang
berkait langsung dengan puisi “Hujan Bulan Juni”. Dan lebih hebatnya lagi,
telah dirilis pada bulan November 2017 dengan judul yang sama sebuah film yang
mengadaptasi dari novel “Hujan Bulan Juni”. Berawal dari puisi, bergerak menuju
novel, dan terciptalah film. Sungguh luar biasa karya Abah Sapardi yang satu
ini. Namun disini saya tidak akan membahas yang lain, kali ini akan saya
fokuskan tentang pembahasan novel “Hujan Bulan Juni”.
Novel ini mengisahkan hubungan asmara
antara pria sederhana, idealis, dan kaku bernama Sarwono dengan gadis cantik,
pandai, dan blasteran Jawa-Manado bernama Pingkan. Perjalanan cinta mereka
tidak sendiri, tentu akan selalu ada tokoh yang mendukung mereka. Disitulah
Toar berada, kakak dari Pingkan, orang yang ceria dan juga sahabat karib
Sarwono. Dan dari sinilah kisah cinta mereka berdua bermula.
Kisah ini diawali dengan seorang
antropolog bernama Sarwono yang mendapat program penilitian dari FISIP UI untuk
mempelajari konsep daerah pinggiran. Tempat dilakukan program ini berada di
Jogjakarta, sekitar Sungai/Kali Code. Sarwono yang mendapat tugas tersebut
sempat pulang ke Solo selama 1 minggu untuk melepaskan beban yang Ia miliki,
namun tetap saja pikiran tentang program itu masih terbayang-bayang di kepala.
Dalam perjalanan ke hotel yang berada di Bulaksumur, Sarwono menyempatkan
membeli sebuah koran. Bukan hanya untuk bacaan, bukan hanya untuk pajangan,
tetapi untuk dipamerkan kepada seorang cewek yang Sarwono cintai yaitu Pingkan.
Sarwono ingin menunjukkan kalau puisi karyanya bukan hanya kata-kata, tetapi
adalah suatu medium untuk menyampaikan perasaan. Namun, bersamanya hujan keinginan Sarwono untuk
mengirim foto sajak karyanya hilang bersama aliran air dari langit. Dan
tenggelamlah Sarwono dalam ingatannya tentang Pingkan yang sedang menjalankan
program studi di Jepang.
Kisah ini berlanjut ke kisah dimana
Sarwono dan Pingkan mulai membuka rasa. Sebelum Pingkan pergi ke Jepang,
Sarwono merasa sangat kehilangan karena akan ditinggal pergi oleh Sang
Mataharinya. Mengetahui itu, Pingkan merasa kalau Sarwono yang suka musik jazz
adalah orang yang manja. Bahkan Pingkan sempat mengejek Sarwono adalah orang
yang cengeng karena dalam setiap puisinya selalu mengandung unsur-unsur yang
menunjukkan kerapuhan. Dalam dialog yang terjadi antar mereka berdua, Sarwono
teringat kejadian dimana Bu Pelenkahu-Ibunya Pingkan dan Toar bertemu dengan
keluarganya. Kejadian itu terjadi 3 tahun yang lalu ketika pesta kelulusan Sarwono
sebagai magister. Disitulah antara orang tua Pingkan dan Sarwono saling
mengenal. Walau dalam perayaan itu terdengar berbagai suara sumbang tentang
keluarga Sarwono yang dianggap kelas bawah, tapi itu tidak menghalangi
kebahagiaan dari kelulusan Sarwono.
Flashback akan kenangan yang ada di kepala Sarwono tidak
hanya berhenti disitu. Sarwono kembali mengurai kembali kisah mereka berdua
ketika ke Manado dan Gorontalo dalam rangka menyusun MOU antara UI dengan
UNSRAT. Awalnya perjalanan ke Manado hanya dilakukan Sarwono seorang diri.
Namun dengan kelicikannya dengan alasan yang tidak masuk akal Ia bisa membawa
dosen muda Prodi Jepang, Pingkan untuk ikut ke UNSRAT. Sesampainya di UNSRAT
dan menyelesaikan MOU, ternyata perjalanan mereka belum selesai. Sarwono dan
Pingkan harus meneruskan perjalanan ke Universitas Negeri Gorontalo. Perjalanan
mereka ke Gorontalo tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Mereka harus
menyisir jalan di pinggir pantai dari Manado hingga Gorontalo. Sangat jauh?
Jelas!. Namun disinilah kisah cinta mereka mekar. Dimulai dari candaan-candaan
yang simpel, perdebatan tentang musik yang bagus, hingga menikmati perjalanan
yang sangat panjang dengan background
pemandangan pantai sulawesi sepanjang Manado-Gorontalo. Sesampainya di Gorontalo
mereka bertemu dengan Pak Ahmad, seorang profesor dan anggota DPR Pusat
mewakili Provinsi Gorontalo. Mereka langsung diarahkan ke hotel untuk
beristirahat karena perjalanan yang sangat panjang.
Perjalanan panjang ini membuat mereka
menyadari bahwa kasih sayang mengungguli segalanya menembus apa pun yang tidak
bisa dipahami oleh pengertian, teori dan pendekatan apa pun. Dan juga
menunjukkan kalau kasih sayang beriman pada senyap.
Kisah di novel ini tidak hanya stagnan
dengan masa lalu Sarwono. Novel ini juga menceritakan curhatan Pingkan yang
ingin tahu kenapa dirinya dinamakan “PINGKAN”. Sebagai anak muda, ingin tahu
merupakan suatu tindakan yang wajar. Tapi rasa ingin tahu yang dimiliki Pingkan
belum menemui ujung jawabannya. Kenapa
sih Ia diberi nama Pingkan. Nama Pingkan sendiri muncul dalam legenda di daerah
Tonsea, yaitu kisah Pingkan dan Matindas. Kisah ini menceritakan seorang
kesatria dan putri kerajaan pada zaman dahulu. Kisah ini sangat terkenal di
Tonsea, tapi Pingkan masih ingin tahu kenapa Ia diberi nama “PINGKAN”.
Kembali ke cerita dimana perjalanan
dua orang muda yang dimabuk asmara telah selesai. Sarwono kembali ke Jakarta,
Pingkan melanjutkan perjalanan menemui Tante Henny dan Benny yang merupakan
saudaranya. Disinilah Pingkan merasa sangat rindu kepada Sarwono. Mungkin kisah
Pingkan dan Matindas bukan hanya isapan belaka, tetapi kenyataan yang Pingkan
alami. Jarak yang jauh tidak menghalangi perjalanan kisah cinta mereka. Namun
disinilah cinta mereka benar-benar diuji.
Beberapa waktu kemudian, Pingkan dan
keluarganya yang berasal dari Manado datang ke Jakarta untuk melakukan
perjalanan. Dalam keramaian Jakarta, Pingkan teringat banyak hal seperti Toar
yang akan segera menikah dan juga tawaran dari tantenya untuk menikah dengan
seorang dosen dari UNSRAT. Dan suatu perjalanan tidak akan dilakukan tanpa ada
tujuan. Dan memang benar bahwa keluarga besar dari Manado sengaja datang ke
Solo untuk menemui Bu Pelenkahu perihal pernikahan Toar. Selanjutnya Pingkan
dan keluarganya naik kereta menuju Solo.
Sesampainya di Solo, Sarwono segera
mengantar Pingkan dan keluarganya berkeliling di Kota Solo, Keraton Kasunanan,
dll. Dalam perjalanannya di Solo, muncul keraguan di diri Sarwono, akankah
Pingkan baik-baik saja ketika di Kyoto? Pertanyaan itu muncul sangat banyak di
kepala Sarwono, namun bukanlah hal yang sulit bagi Pingkan untuk meyakinkan
Sarwono bahwa Ia akan selalu ada untuk Sarwono.
Setelah mengantar Pingkan dan
keluarganya naik kereta untuk ke Surabaya, Sarwono langsung menemui Bu
Pelenkahu. Pada saat itu Bu Pelenkahu menceritakan semua detail tentang tujuan
keluarga besar dari Manado yang sengaja datang ke Solo selain membahas tentang
pernikahan Toar juga membujuk Bu Pelenkahu untuk menikahkan Pingkan dengan
dosen UNSRAT. Hal ini membuat firasat buruk yang Sarwono rasakan sudah
mendekati kenyataan.“Apa kamu benar-benar
ingin mengawininya, Sar?”. Pertanyaan yang keluar dari mulut Bu Pelenkahu
sontak membuat Sarwono menjawab secara yakin bahwa Ia ingin mengawini Pingkan.
Dan di hari itu juga Sarwono sudah dianggap menantu oleh Bu Pelenkahu. Hal itu
sontak membuat hari Sarwono sangat indah, namun masalah selanjutnya muncul.
Yaitu kepergian Pingkan ke Kyoto dan juga bagaimana meyakinkan kedua orang
tuanya. Namun hal semacam ini nyatanya mampu dilewati dengan mudah oleh
Sarwono. Dan flashback berakhir dengan
mengantar Pingkan berangkat ke Jepang.
Kembali hari dimana Sarwono berada di
hotel sekitar daerah Bulaksumur, kondisi kesehatan Sarwono semakin memburuk.
Hal ini dikarenakan kondisi paru-parunya yang kotor dikarenakan pernah merokok.
Dan puncaknya ketika Sarwono masuk rumah sakit karena paru-paru basah. Setelah
mendengar kabar itu, Pingkan yang baru saja datang di Jakarta langsung
berangkat ke Solo untuk menemui Sarwono yang terkapar di rumah sakit.
Sesampainya disana, Pingkan disuguhi koran yang berisi puisi karya Sarwono.
Demikianlah maka Surat Takdir pun dibaca berulang kali tanpa ada yang mampu
mendengarnya.
Dari cerita yang dikandung dalam novel ini,
menurut pendapat saya secara keseluruhan Abah Sapardi telah menciptakan suatu
karya yang luar biasa. Kenapa? Karena baru kali ini saya membaca novel romansa
yang simpel namun sangat bermakna. Mungkin kisah cinta di novel ini tidak
terlalu istimewa dan romantis, tapi Abah Sapardi dapat membuatnya menjadi kisah
yang luar biasa. Kenapa saya menyebut kisah ini luar biasa?. Yang pertama
adalah pemilihan karakter tokoh. Tokoh Sarwono yang terkenal kaku dan Pingkan
yang ceria dapat menciptakan perpaduan yang simpel dan sangat indah. Hal ini
dapat diperlihatkan di cerita bagian perjalanan dari Manado ke Gorontalo. Dalam
perjalanan yang membosankan tersebut dikisahkah Sarwono yang suka musik jazz
merasa bising dengan lantunan lagu yang belum pernah Ia dengar selama ini.
Mengetahui itu, Pingkan berusaha menghibur Sarwono agar tidak merasa bosan.
Walau Pingkan sempat menyebut tentang penyakit yang Sarwono derita, tapi
kondisi dimana mereka berdua mendengarkan musik berdua dalam perjalanan seolah
memperlihatkan cinta dapat mempersatukan air dan minyak.
Lalu yang kedua adalah dialog-dialog
antar tokoh yang sangat menarik. Hal semacam ini diperlihatkan di novel halaman
39-43. Disitu menceritakan percakapan antara Sarwono dan Pingkan yang saling
bercanda. Dimulai dari penyebutan tokoh-tokoh legenda, sampai penggunaan bahasa
yang lucu seperti gundhulmu dan pengung membuat kita seolah-olah dapat
merasakan kisah antara mereka berdua.
Lalu yang ketiga adalah setiap bagian
dari novel ini selalu bermakna dalam kehidupan. Bukan Abah Sapardi kalau tidak
mampu menciptakan kisah yang membuat kita berfikir akan suatu makna dan
bernilai dalam kehidupan. Hal ini dapat kita lihat di halaman 20. Di bagian itu
dikisahkan bahwa keluarga Sarwono berpenghasilan rendah, berbeda dengan
saudara-saudara yang lain yang berpenghasilan banyak dan bangga karena mengabdi
sebagai PNS. Namun disini perkataan ayahnya Sarwono kepada Sarwono menurut saya
sangat bagus dan perlu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Perkataan
ayah Sarwono adalah “Nasib memang
diserahkan kepada manusia untuk digarap, tetapi takdir juga harus
ditandatangani diatas materai dan tidak boleh digugat kalau terjadi apa-apa,
baik atau buruk. Kata yang ada di langit sana, kalau baik ya alhamdulillah,
kalau buruk ya disyukuri saja”. Di bagian ini secara jelas bahwa kita harus
bisa menjalani kehidupan dengan baik. Walaupun hidup tidak selalu sesuai dengan
keinginan kita, disitulah letak kesabaran kita dalam menjalaninya.
Dan yang terakhir adalah penggunaan
nilai-nilai daerah dalam novel ini sangat bagus. Novel ini cenderung berlatar
Sulawesi (Manado) dan Jawa (Solo). Sebagai contoh ketika Pingkan berkunjung ke
Tante Henny, dikisahkan tentang legenda Pingkan dan Matindas. Disini secara
tidak langsung kita diarahkan untuk mengetahui tentang budaya-budaya di
Indonesia. Selain agar kita tahu, hal ini juga bertujuan agar kita bisa
menghargai keberagaman yang ada di Indonesia.
Setiap ada positif, pasti ada negatif.
Begitu pula dengan novel yang satu ini. Walau seperti yang saya jelaskan tadi
bahwa novel ini simpel namun bermakna, tetapi ada beberapa hal yang perlu
digaris bawahi dalam novel ini. Yang pertama adalah penggunaan bahasa yang
berbelit-belit. Walaupun tidak terlalu banyak ditemukan dalam novel “Hujan
Bulan Juni”, namun hal ini membuat pembaca berfikir ulang untuk mencari makna
dari cerita tersebut. Sebagai contoh ada di halaman 44-45. Mungkin di bagian
ini berusaha menunjukkan bagaimana sebenarnya kasih sayang itu. Namun karena
penggunaan bahasa yang terlalu bertele-tele justru membuat pembaca kurang faham
tentang makna di bagian ini. Bahkan sebagian pembaca enggan membaca bagian ini
dikarenakan sangat rumit.
Lalu yang kedua adalah penggunaan
beberapa kosa kata daerah yang tidak ada penjelasannya. Seperti yang saya
jelaskan tadi bahwa di novel ini banyak mengandung nilai-nilai daerah terutama
Solo dan Manado. Akan tetapi ada beberapa kosa kata di novel yang tidak
diberikan penjelasan. Seperti mangap,
empan papan, dll. Mungkin kosa kata seperti itu bagi orang yang mengerti
pasti faham artinya. Akan tetapi bagi pembaca yang tidak tahu menahu akan sulit
memahami cerita karena semua pembaca belum tentu faham apa makna kata-kata
seperti itu.
Dan yang terakhir adalah akhir dari
cerita yang menurut saya kurang kompleks. Di novel ini Cuma dikisahkan bahwa
Pingkan datang ke rumah sakit membaca puisi karya Sarwono yang dimuat di koran.
Menurut saya akhir cerita semacam ini kurang kompleks karena masih menyimpan
banyak pertanyaan seperti bagaimana kondisi Sarwono pada akhirnya. Akan tetapi
secara keseluruhan cerita menurut saya sangat bagus.
Terlepas dari berbagai pendapat
positif dan negatif tentang novel ini, saya sangat salut terhadap Abah Sapardi
yang masih bisa membuat kisah-kisah yang menginspirasi hingga saat ini.
Tentunya hal semacam ini bisa menjadi pemacu semangat bagi seluruh penulis, terutama
penulis yang baru memulai karir untuk tetap berusaha dan berkarya karena
keberhasilan selalu membutuhkan proses. Selain itu saya merasa novel ini
merupakan novel romantis yang sangat bermakna. Mungkin memang tidak seperti
kisah cinta yang lain, tetapi menurut saya cinta yang indah adalah cinta yang
sederhana. Dan cinta seperti itu ada di novel “Hujan Bulan Juni”.
Biodata
Penulis Novel
Nama
Lahir : Sapardi Djoko
Damono
Tempat,
Tanggal Lahir : Solo, 20 Maret 1940
Tahun
Aktif : 1958 – sekarang
Karya-Karya : Duka-Mu Abadi (1979)
Hujan Bulan Juni (1994)
Kolam (2009, kumpulan puisi)
Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. Saat ini
berprofesi sebagai guru besar pensiun di Universitas Indonesia. Ia mengajar dan
membimbing mahasiswa di Pascasarjana Universitas Indonesia, Institut Kesenian
Jakarta, Universitas Diponegoro, Universitas Padjadjaran, dan Institut Seni
Indonesia Solo. Karya dari Sapardi Djoko Damono antara lain Mata Pisau (1974), duka-Mu abadi (1979),
Namaku Sita (2012), dan Hujan Bulan Juni (2015).
Biodata
Penulis Teks Resensi
Nama
Lahir : Prima Rahman
Lazuardi
Nama
Panggilan : Prima
Tempat,
Tanggal Lahir : Malang, 26 Juni 2001
Jenis
Kelamin : Laki-laki
Asal
Sekolah : SMA
Negeri 1 Kepanjen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar