Selasa, 29 Mei 2018

Resensi "Anak Rantau"


Sepucuk Rindu yang Disalahartikan

Judul Buku                  : Anak Rantau
Penulis                         : Ahmad Fuadi
Penerbit                       : PT Falcon
Kota Penerbit              : Jakarta
Tahun Terbit                : Agustus 2017
Jumlah Halaman          : 370
ISBN                           : 978-602-60514-9-3
Genre                          : Fiksi
Harga                          : Rp 89.000,00


            Ahmad Fuadi lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir Danau Maninjau. Fuadi merantau ke Jawa untuk masuk sekolah agama, Pondok Modern Gontor. Di Gontor inilah yang menjadi inspirasinya menulis novel mega bestseller, Negeri 5 Menara. Selain itu, dia juga menerbitkan novel Ranah 3 Warna dan Rantai 1 Muara yang merupakan sekuel Negeri 5 Menara.
            Hepi, seorang perantau yang tidak memiliki niat untuk merantau. Dia merantau karena hukuman yang diberikan oleh ayahnya, Martiaz. Sang ayah yang merasa gagal mendidik anaknya seorang diri membawa Hepi ke kampong halamannya di Minang untuk dididik oleh kakek dan nenek Hepi.
            Hepi yang merasa ditinggalkan sang ayah membuat janji dengan penuh amarah dan dendam. Perasaan dendam yang akan dia sadari bahwa itu adalah sebuah rasa rindu. Demi memenuhi janji yang ia buat sendiri, Hepi berusaha mencari uang yang dibantu oleh 2 sahabatnya di kampong, Zen dan Attar. Dalam memenuhi janjinya sendiri, Hepi mengalami banyak pengalaman seru mulai dari mendatangi sarang jin, menghadapi lelaki misterius, dan menjadi detektif.
            Novel ini merupakan novel yang sangat menarik. Cara Fuadi dalam menggambarkan awal kisah dari sebuah kejadian membuat pembaca segera ingin tahu kelanjutan kisahnya. Penggambaran penulis untuk tempat di dalam cerita sangat detail dan disediakan pula peta tempat d dalam cerita sehingga pembaca bisa lebih jelas memahami tempat-tempat dalam cerita. Selain itu, di dalam novel ini juga memberi pengetahuan berupa sejarah yang pernah terjadi di Indonesia
            Dalam novel ini banyak menggunakan bahasa dari daerah Minang seperti wa’ang, lapau, maota, dan sebagainya. Akan tetapi , arti dalam bahasa tersebut di letakkan di belakang setelah cerita selesai sehingga dapat menimbulkan kebingungan apabila tidak terbiasa. Maka dari itu, pembaca harus membaca secara seksama agar pembaca terbiasa dengan bahasa yang digunakan.
            Novel ini sangat cocok dibaca untuk semua kalangan. Selain itu, banyak pesan-pesan yang bisa disampaikan untuk para pembaca. Sehingga, para pembaca bisa menambah pengamalan dari kisah yang disampaikan tanpa perlu merasakan kehidupan yang pahit seperti yang diceritakan oleh penulis.













Resensi oleh :

Nama            : Harisa Riski Amalia
No. / Kelas   : 19 / XI MIA 2
Sekolah        : SMA Negeri 1 Kepanjen

2 komentar:

  1. Wiiiiii mau cari refrensi tentang novel yang sama eh ketemunya sama kaka kelas sendiri, alumni rohis pula. Salam kenal kak.....

    BalasHapus