Sabtu, 26 Mei 2018

Resensi "Hujan Bulan Juni"


Aku, Kamu, dan Hujan di Hati

Identitas novel
Judul                     : Hujan Bulan Juni (NOVEL)
Jenis Buku             : Novel / fiksi
Penulis                   : Sapardi Djoko Damono
Penerbit                : PT. Gramedia Pustaka Utama
Genre                    : Romansa, drama
Tahun Terbit         : 2015
Jumlah Halaman     : VI + 138 halaman
ISBN                    : 978-602-03-1843-1
Harga Novel          : Rp 50.000


          Sejauh apa biasanya Anda sampai terhanyut dari kumpulan kata-kata dalam sebuah puisi?. Kandungan tersirat apa yang Anda peroleh saat sedang atau setelah membacanya?. “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono menurut saya selalu berhasil memberi rasa dari setiap puisi kenangannya. Dan kali ini saya akan membahas novel “Hujan Bulan Juni”. Sebenarnya judul buku ini adalah suatu puisi yang sudah diciptakan Abah Sapardi pada tahun 1994. Namun, baru tahun 2015, beliau membuat novel yang berkait langsung dengan puisi “Hujan Bulan Juni”. Dan lebih hebatnya lagi, telah dirilis pada bulan November 2017 dengan judul yang sama sebuah film yang mengadaptasi dari novel “Hujan Bulan Juni”. Berawal dari puisi, bergerak menuju novel, dan terciptalah film. Sungguh luar biasa karya Abah Sapardi yang satu ini. Namun disini saya tidak akan membahas yang lain, kali ini akan saya fokuskan tentang pembahasan novel “Hujan Bulan Juni”.
          Novel ini mengisahkan hubungan asmara antara pria sederhana, idealis, dan kaku bernama Sarwono dengan gadis cantik, pandai, dan blasteran Jawa-Manado bernama Pingkan. Perjalanan cinta mereka tidak sendiri, tentu akan selalu ada tokoh yang mendukung mereka. Disitulah Toar berada, kakak dari Pingkan, orang yang ceria dan juga sahabat karib Sarwono. Dan dari sinilah kisah cinta mereka berdua bermula.
          Kisah ini diawali dengan seorang antropolog bernama Sarwono yang mendapat program penilitian dari FISIP UI untuk mempelajari konsep daerah pinggiran. Tempat dilakukan program ini berada di Jogjakarta, sekitar Sungai/Kali Code. Sarwono yang mendapat tugas tersebut sempat pulang ke Solo selama 1 minggu untuk melepaskan beban yang Ia miliki, namun tetap saja pikiran tentang program itu masih terbayang-bayang di kepala. Dalam perjalanan ke hotel yang berada di Bulaksumur, Sarwono menyempatkan membeli sebuah koran. Bukan hanya untuk bacaan, bukan hanya untuk pajangan, tetapi untuk dipamerkan kepada seorang cewek yang Sarwono cintai yaitu Pingkan. Sarwono ingin menunjukkan kalau puisi karyanya bukan hanya kata-kata, tetapi adalah suatu medium untuk menyampaikan perasaan. Namun,  bersamanya hujan keinginan Sarwono untuk mengirim foto sajak karyanya hilang bersama aliran air dari langit. Dan tenggelamlah Sarwono dalam ingatannya tentang Pingkan yang sedang menjalankan program studi di Jepang.
          Kisah ini berlanjut ke kisah dimana Sarwono dan Pingkan mulai membuka rasa. Sebelum Pingkan pergi ke Jepang, Sarwono merasa sangat kehilangan karena akan ditinggal pergi oleh Sang Mataharinya. Mengetahui itu, Pingkan merasa kalau Sarwono yang suka musik jazz adalah orang yang manja. Bahkan Pingkan sempat mengejek Sarwono adalah orang yang cengeng karena dalam setiap puisinya selalu mengandung unsur-unsur yang menunjukkan kerapuhan. Dalam dialog yang terjadi antar mereka berdua, Sarwono teringat kejadian dimana Bu Pelenkahu-Ibunya Pingkan dan Toar bertemu dengan keluarganya. Kejadian itu terjadi 3 tahun yang lalu ketika pesta kelulusan Sarwono sebagai magister. Disitulah antara orang tua Pingkan dan Sarwono saling mengenal. Walau dalam perayaan itu terdengar berbagai suara sumbang tentang keluarga Sarwono yang dianggap kelas bawah, tapi itu tidak menghalangi kebahagiaan dari kelulusan Sarwono.
          Flashback akan kenangan yang ada di kepala Sarwono tidak hanya berhenti disitu. Sarwono kembali mengurai kembali kisah mereka berdua ketika ke Manado dan Gorontalo dalam rangka menyusun MOU antara UI dengan UNSRAT. Awalnya perjalanan ke Manado hanya dilakukan Sarwono seorang diri. Namun dengan kelicikannya dengan alasan yang tidak masuk akal Ia bisa membawa dosen muda Prodi Jepang, Pingkan untuk ikut ke UNSRAT. Sesampainya di UNSRAT dan menyelesaikan MOU, ternyata perjalanan mereka belum selesai. Sarwono dan Pingkan harus meneruskan perjalanan ke Universitas Negeri Gorontalo. Perjalanan mereka ke Gorontalo tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Mereka harus menyisir jalan di pinggir pantai dari Manado hingga Gorontalo. Sangat jauh? Jelas!. Namun disinilah kisah cinta mereka mekar. Dimulai dari candaan-candaan yang simpel, perdebatan tentang musik yang bagus, hingga menikmati perjalanan yang sangat panjang dengan background pemandangan pantai sulawesi sepanjang Manado-Gorontalo. Sesampainya di Gorontalo mereka bertemu dengan Pak Ahmad, seorang profesor dan anggota DPR Pusat mewakili Provinsi Gorontalo. Mereka langsung diarahkan ke hotel untuk beristirahat karena perjalanan yang sangat panjang.
          Perjalanan panjang ini membuat mereka menyadari bahwa kasih sayang mengungguli segalanya menembus apa pun yang tidak bisa dipahami oleh pengertian, teori dan pendekatan apa pun. Dan juga menunjukkan kalau kasih sayang beriman pada senyap.
          Kisah di novel ini tidak hanya stagnan dengan masa lalu Sarwono. Novel ini juga menceritakan curhatan Pingkan yang ingin tahu kenapa dirinya dinamakan “PINGKAN”. Sebagai anak muda, ingin tahu merupakan suatu tindakan yang wajar. Tapi rasa ingin tahu yang dimiliki Pingkan belum menemui ujung   jawabannya. Kenapa sih Ia diberi nama Pingkan. Nama Pingkan sendiri muncul dalam legenda di daerah Tonsea, yaitu kisah Pingkan dan Matindas. Kisah ini menceritakan seorang kesatria dan putri kerajaan pada zaman dahulu. Kisah ini sangat terkenal di Tonsea, tapi Pingkan masih ingin tahu kenapa Ia diberi nama “PINGKAN”.
          Kembali ke cerita dimana perjalanan dua orang muda yang dimabuk asmara telah selesai. Sarwono kembali ke Jakarta, Pingkan melanjutkan perjalanan menemui Tante Henny dan Benny yang merupakan saudaranya. Disinilah Pingkan merasa sangat rindu kepada Sarwono. Mungkin kisah Pingkan dan Matindas bukan hanya isapan belaka, tetapi kenyataan yang Pingkan alami. Jarak yang jauh tidak menghalangi perjalanan kisah cinta mereka. Namun disinilah cinta mereka benar-benar diuji.
          Beberapa waktu kemudian, Pingkan dan keluarganya yang berasal dari Manado datang ke Jakarta untuk melakukan perjalanan. Dalam keramaian Jakarta, Pingkan teringat banyak hal seperti Toar yang akan segera menikah dan juga tawaran dari tantenya untuk menikah dengan seorang dosen dari UNSRAT. Dan suatu perjalanan tidak akan dilakukan tanpa ada tujuan. Dan memang benar bahwa keluarga besar dari Manado sengaja datang ke Solo untuk menemui Bu Pelenkahu perihal pernikahan Toar. Selanjutnya Pingkan dan keluarganya naik kereta menuju Solo.
          Sesampainya di Solo, Sarwono segera mengantar Pingkan dan keluarganya berkeliling di Kota Solo, Keraton Kasunanan, dll. Dalam perjalanannya di Solo, muncul keraguan di diri Sarwono, akankah Pingkan baik-baik saja ketika di Kyoto? Pertanyaan itu muncul sangat banyak di kepala Sarwono, namun bukanlah hal yang sulit bagi Pingkan untuk meyakinkan Sarwono bahwa Ia akan selalu ada untuk Sarwono.
          Setelah mengantar Pingkan dan keluarganya naik kereta untuk ke Surabaya, Sarwono langsung menemui Bu Pelenkahu. Pada saat itu Bu Pelenkahu menceritakan semua detail tentang tujuan keluarga besar dari Manado yang sengaja datang ke Solo selain membahas tentang pernikahan Toar juga membujuk Bu Pelenkahu untuk menikahkan Pingkan dengan dosen UNSRAT. Hal ini membuat firasat buruk yang Sarwono rasakan sudah mendekati kenyataan.“Apa kamu benar-benar ingin mengawininya, Sar?”. Pertanyaan yang keluar dari mulut Bu Pelenkahu sontak membuat Sarwono menjawab secara yakin bahwa Ia ingin mengawini Pingkan. Dan di hari itu juga Sarwono sudah dianggap menantu oleh Bu Pelenkahu. Hal itu sontak membuat hari Sarwono sangat indah, namun masalah selanjutnya muncul. Yaitu kepergian Pingkan ke Kyoto dan juga bagaimana meyakinkan kedua orang tuanya. Namun hal semacam ini nyatanya mampu dilewati dengan mudah oleh Sarwono. Dan flashback berakhir dengan mengantar Pingkan berangkat ke Jepang.
          Kembali hari dimana Sarwono berada di hotel sekitar daerah Bulaksumur, kondisi kesehatan Sarwono semakin memburuk. Hal ini dikarenakan kondisi paru-parunya yang kotor dikarenakan pernah merokok. Dan puncaknya ketika Sarwono masuk rumah sakit karena paru-paru basah. Setelah mendengar kabar itu, Pingkan yang baru saja datang di Jakarta langsung berangkat ke Solo untuk menemui Sarwono yang terkapar di rumah sakit. Sesampainya disana, Pingkan disuguhi koran yang berisi puisi karya Sarwono. Demikianlah maka Surat Takdir pun dibaca berulang kali tanpa ada yang mampu mendengarnya.     
           Dari cerita yang dikandung dalam novel ini, menurut pendapat saya secara keseluruhan Abah Sapardi telah menciptakan suatu karya yang luar biasa. Kenapa? Karena baru kali ini saya membaca novel romansa yang simpel namun sangat bermakna. Mungkin kisah cinta di novel ini tidak terlalu istimewa dan romantis, tapi Abah Sapardi dapat membuatnya menjadi kisah yang luar biasa. Kenapa saya menyebut kisah ini luar biasa?. Yang pertama adalah pemilihan karakter tokoh. Tokoh Sarwono yang terkenal kaku dan Pingkan yang ceria dapat menciptakan perpaduan yang simpel dan sangat indah. Hal ini dapat diperlihatkan di cerita bagian perjalanan dari Manado ke Gorontalo. Dalam perjalanan yang membosankan tersebut dikisahkah Sarwono yang suka musik jazz merasa bising dengan lantunan lagu yang belum pernah Ia dengar selama ini. Mengetahui itu, Pingkan berusaha menghibur Sarwono agar tidak merasa bosan. Walau Pingkan sempat menyebut tentang penyakit yang Sarwono derita, tapi kondisi dimana mereka berdua mendengarkan musik berdua dalam perjalanan seolah memperlihatkan cinta dapat mempersatukan air dan minyak.
          Lalu yang kedua adalah dialog-dialog antar tokoh yang sangat menarik. Hal semacam ini diperlihatkan di novel halaman 39-43. Disitu menceritakan percakapan antara Sarwono dan Pingkan yang saling bercanda. Dimulai dari penyebutan tokoh-tokoh legenda, sampai penggunaan bahasa yang lucu seperti gundhulmu dan pengung membuat kita seolah-olah dapat merasakan kisah antara mereka berdua.
          Lalu yang ketiga adalah setiap bagian dari novel ini selalu bermakna dalam kehidupan. Bukan Abah Sapardi kalau tidak mampu menciptakan kisah yang membuat kita berfikir akan suatu makna dan bernilai dalam kehidupan. Hal ini dapat kita lihat di halaman 20. Di bagian itu dikisahkan bahwa keluarga Sarwono berpenghasilan rendah, berbeda dengan saudara-saudara yang lain yang berpenghasilan banyak dan bangga karena mengabdi sebagai PNS. Namun disini perkataan ayahnya Sarwono kepada Sarwono menurut saya sangat bagus dan perlu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Perkataan ayah Sarwono adalah “Nasib memang diserahkan kepada manusia untuk digarap, tetapi takdir juga harus ditandatangani diatas materai dan tidak boleh digugat kalau terjadi apa-apa, baik atau buruk. Kata yang ada di langit sana, kalau baik ya alhamdulillah, kalau buruk ya disyukuri saja”. Di bagian ini secara jelas bahwa kita harus bisa menjalani kehidupan dengan baik. Walaupun hidup tidak selalu sesuai dengan keinginan kita, disitulah letak kesabaran kita dalam menjalaninya.
          Dan yang terakhir adalah penggunaan nilai-nilai daerah dalam novel ini sangat bagus. Novel ini cenderung berlatar Sulawesi (Manado) dan Jawa (Solo). Sebagai contoh ketika Pingkan berkunjung ke Tante Henny, dikisahkan tentang legenda Pingkan dan Matindas. Disini secara tidak langsung kita diarahkan untuk mengetahui tentang budaya-budaya di Indonesia. Selain agar kita tahu, hal ini juga bertujuan agar kita bisa menghargai keberagaman yang ada di Indonesia.
          Setiap ada positif, pasti ada negatif. Begitu pula dengan novel yang satu ini. Walau seperti yang saya jelaskan tadi bahwa novel ini simpel namun bermakna, tetapi ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dalam novel ini. Yang pertama adalah penggunaan bahasa yang berbelit-belit. Walaupun tidak terlalu banyak ditemukan dalam novel “Hujan Bulan Juni”, namun hal ini membuat pembaca berfikir ulang untuk mencari makna dari cerita tersebut. Sebagai contoh ada di halaman 44-45. Mungkin di bagian ini berusaha menunjukkan bagaimana sebenarnya kasih sayang itu. Namun karena penggunaan bahasa yang terlalu bertele-tele justru membuat pembaca kurang faham tentang makna di bagian ini. Bahkan sebagian pembaca enggan membaca bagian ini dikarenakan sangat rumit.
          Lalu yang kedua adalah penggunaan beberapa kosa kata daerah yang tidak ada penjelasannya. Seperti yang saya jelaskan tadi bahwa di novel ini banyak mengandung nilai-nilai daerah terutama Solo dan Manado. Akan tetapi ada beberapa kosa kata di novel yang tidak diberikan penjelasan. Seperti mangap, empan papan, dll. Mungkin kosa kata seperti itu bagi orang yang mengerti pasti faham artinya. Akan tetapi bagi pembaca yang tidak tahu menahu akan sulit memahami cerita karena semua pembaca belum tentu faham apa makna kata-kata seperti itu.
          Dan yang terakhir adalah akhir dari cerita yang menurut saya kurang kompleks. Di novel ini Cuma dikisahkan bahwa Pingkan datang ke rumah sakit membaca puisi karya Sarwono yang dimuat di koran. Menurut saya akhir cerita semacam ini kurang kompleks karena masih menyimpan banyak pertanyaan seperti bagaimana kondisi Sarwono pada akhirnya. Akan tetapi secara keseluruhan cerita menurut saya sangat bagus.
          Terlepas dari berbagai pendapat positif dan negatif tentang novel ini, saya sangat salut terhadap Abah Sapardi yang masih bisa membuat kisah-kisah yang menginspirasi hingga saat ini. Tentunya hal semacam ini bisa menjadi pemacu semangat bagi seluruh penulis, terutama penulis yang baru memulai karir untuk tetap berusaha dan berkarya karena keberhasilan selalu membutuhkan proses. Selain itu saya merasa novel ini merupakan novel romantis yang sangat bermakna. Mungkin memang tidak seperti kisah cinta yang lain, tetapi menurut saya cinta yang indah adalah cinta yang sederhana. Dan cinta seperti itu ada di novel “Hujan Bulan Juni”.



Biodata Penulis Novel

Nama Lahir                     : Sapardi Djoko Damono
Tempat, Tanggal Lahir     : Solo, 20 Maret 1940
Tahun Aktif                    : 1958 – sekarang
Karya-Karya                    : Duka-Mu Abadi (1979)
                                         Hujan Bulan Juni (1994)
                                         Kolam (2009, kumpulan puisi)

Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. Saat ini berprofesi sebagai guru besar pensiun di Universitas Indonesia. Ia mengajar dan membimbing mahasiswa di Pascasarjana Universitas Indonesia, Institut Kesenian Jakarta, Universitas Diponegoro, Universitas Padjadjaran, dan Institut Seni Indonesia Solo. Karya dari Sapardi Djoko Damono antara lain Mata Pisau (1974), duka-Mu abadi (1979), Namaku Sita (2012), dan Hujan Bulan Juni (2015).











Biodata Penulis Teks Resensi
Nama Lahir                     : Prima Rahman Lazuardi
Nama Panggilan                : Prima
Tempat, Tanggal Lahir     : Malang, 26 Juni 2001
Jenis Kelamin                  : Laki-laki
Asal Sekolah                   : SMA Negeri 1 Kepanjen


Tidak ada komentar:

Posting Komentar